Powered By Blogger

23 May 2006

Standarisasi Tertutup

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang dokter Nefrologi (ahli penyakit ginjal) dalam pertemuan perbincangan seputar proyek pengembangan Hospital Information system. Sebenarnya topik utama perbincangan adalah seputar pembuatan software IT untuk Medical Records khusus pasien penyakit Ginjal, karena spesialisasinya saya memang adalah consultant dan software engineer di bidang Hospital System dan saya juga ikut dalam jajaran pengurus IKCC / Indonesia Kidney Care Club maka saya dipercaya untuk membangun aplikasi system tersebut. Namun yang ingin saya tulis di sini bukanlah tentang proyek tersebut melainkan tentang salah satu topik pembicaraan yang berhubungan dengan kebenaran yang tertutup selama ini dikalangan awam tentang Cuci darah (Hemodialisa) bagi para penderita penyakit ginjal.

Dokter tersebut mengatakan bahwa standard cuci darah di Indonesia masih dibawah standard international. Hampir kebanyakan penderita penyakit ginjal di Indonesia saat ini mengetahui bahwa cuci darah cukup dilakukan sebanyak 2X seminggu saja. Ternyata standard itu diterapkan di Indonesia hanya karena mempertimbangkan biaya cuci darah yang cukup mahal, sehingga untuk orang-orang di Indonesia yang pendapatan perkapitanya masih jauh dibawah negara-negara berkembang lain biaya untuk cuci darah merupakan beban yang sangat berat untuk ditanggung. Akan tetapi rupanya cuci darah yang ideal dan efektif seharusnya 3X seminggu seperti yang memang diterapkan sebagai standard di luar negeri. Perbedaan standard ini dapat berdampak serius terhadap kesehatan penderita dan harapan perpanjangan hidup bagi sang pasien. Ironisnya perbedaan standard cuci darah tersebut kurang disosialisasikan kepada pasien-pasien Ginjal di Indonesia, sehingga tingkat pengetahuan para pasien juga rendah. Dilematis memang karena beberapa dokter yang saya tanya pernah mengatakan bahwa hanya ada tiga pilihan bagi seorang penderita selama selama sisa hidupnya: 1.Cuci Darah plus pengobatan lain (Pilihan mutlak kalau mau tetap hidup), 2.Transplantasi organ ginjal (jika punya uang banyak), 3.Berdoa sambil nunggu mukjizat (jika nggak punya uang). Sebagai informasi biaya sekali cuci darah berkisar Rp. 500.000,- maka jika cuci darah sesuai standard dalam sebulan adalah (3 x 500.000) x 4 = Rp. 6.000.000,-

Nah persoalannya jika pilihan No.1 diputuskan, itu artinya haruslah sesuai standard yang ideal agar supaya hasil yang diharapkan juga maksimal. Namun berhubung karena standard di Indonesia cukup dilakukan 2X seminggu (yang seharusnya 3X seminggu) maka tingkat kesuksesan dan perpanjangan hidup si pasien juga tidak optimal. Itulah sebabnya angka kematian karena penyakit ginjal di Indonesia cukup tinggi. Memang pilihan kembali dihadapkan kepada para pasien, apakah mau ambil terapi cuci darah 2X seminggu dengan harga lebih murah namun beresiko ataukah ambil terapi cuci darah 3X seminggu dengan harga yang lebih mahal tetapi hasilnya bisa lebih maksimal dan significant.

Namun persoalan yang masih mendasar menurut saya adalah sehubungan dengan kebenaran tentang standard cuci darah tersebut. Sudah seharusnya informasi itu disosialisasikan oleh para praktisi medis kepada seluruh penderita penyakit ginjal dan orang awam. Jangan menutupi kebenaran hanya agar para pasien tetap bisa cuci darah walaupun tidak sesuai standard, hanya agar pemasukan uang bagi para praktisi medis atau para dokter dan rumah sakit bisa tetap berkesinambungan (business oriented).

18 May 2006

Selamat tinggal Ayahku terkasih

Tanggal 15 mei 2006 jam 22:45, ayah saya akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, setelah beberapa bulan keluar-masuk rumah sakit karena gagal Jantung. Almarhum ayah saya meninggal di rumah setelah seminggu keluar dari RS.Jantung Nasional Harapan Kita. Saya menyaksikan proses perjuangan almarhum untuk tetap hidup dan terus menarik nafas seraya selang tabung oksigen dipasang dihidungnya, namun ternyata itulah perjuangan terakhirnya di dunia ini, almarhum ternyata tidak kuat lagi bahkan untuk menghirup oksigen dan akhirnya meninggal di kamar tidurnya di samping saya. Selesai sudah perjuangan almarhum ayah saya (Drs. Sounggilon Gultom) dalam mengarungi kehidupannya yang cukup panjang dan penuh dengan lika-liku, asam-garam serta suka-duka kehidupan. Malam itu juga saya memutuskan untuk membawa jenazah ke rumah duka RS.Cikini, dengan pertimbangan agar para pelayat khususnya family dan kerabat dekat lebih mudah datang ke lokasi yang strategis di tengah kota. Besoknya pada tanggal 16 mei 2006 sekitar jam 15:20 sore ayah saya dimakamkan di TPU Pondok Rangon Cibubur, setelah sebelumnya dilakukan acara ceremonial pelepas Jenazah dari rumah duka dan ucapan belasungkawa dari semua family, kerabat dll. Selamat tinggal 'guruku', 'pembimbingku', 'sahabatku' dan ayahku terkasih.