Powered By Blogger

07 September 2006

Harapan Permanen atau Semu?

Tanggal 2 September 2006 yang lalu, saya ikut dalam jajaran panitia seminar sehari Stem Cell yang diadakan di Aula FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Saya kebetulan ditempatkan oleh ketua panitia dalam seksi dokumentasi sebagai kameramen lengkap dengan peralatan kamera handycam merk Sony dll layaknya seperti seorang wartawan, hal ini menguntungkan buat saya karena memungkinkan saya untuk menyimak acara-demi acara presentasi dengan baik. Berbeda dengan panitia lainnya yang mondar-mandir mengurus sarana dan prasarana baik sebelum maupun selama acara berlangsung sehingga mereka tidak bisa menyimak acara dengan baik seperti saya.

Selama acara presentasi berlangsung ada banyak hal yang cukup menarik buat saya, seraya para profesor, doktor dan para ahli di bidang kedokteran, farmasi, kimia dan biologi molekuler menyajikan bahan presentasinya secara bergantian, saya terus menyimak dengan seksama sambil membidikkan lensa kamera video saya. Selain pembicara dari FKUI, tampil pula pembicara-pembicara dari FK UGM Yogyakarta, FK UNAIR Surabaya dan pembicara tamu dari Singapura.

Inti dari semua presentasi tersebut adalah adanya suatu harapan di masa depan bagi para praktisi medis dalam mengatasi berbagai jenis penyakit dengan teknologi medis alternatif dalam hal ini Stem Cell. Memang sepertinya hal ini merupakan suatu harapan dan perkembangan medical science yang spektakuler. Saya ingat apa yang dikatakan Dr.Boenyamin PhD. salah satu presenter, beliau mengatakan bahwa stem cell masuk dalam kategori medical science generasi ke 5.

1. Herbal Medicine (pengobatan alamiah)
2. Synthetic Medicine
3. Antibiotic (Penicilin) Medicine
4. Biotechnology Medicine
5. Stem Cell Medicine

Pada saatnya nanti teknologi medis stem cell ini akan sanggup menggantikan metoda pegobatan cara lama dengan metoda baru, yaitu meng-injeksi sel aktif ke dalam organ tubuh yang sakit (misalnya jantung atau otak) melalui pembuluh darah, sehingga sel yang di-injeksi tersebut akan beregenerasi dan memperbaiki sel-sel yang rusak di dalam organ-organ tubuh manusia. Hanya saja dalam hati saya ironis sekali, para pembicara rata-rata sudah lanjut usia, rata-rata berumur diatas 60 tahun. Saya bertanya dalam hati apakah mereka masih hidup apabila kelak teknologi stem cell ini berhasil diterapkan di Indonesia? Karena salah satu presenter yang sudah berusia lebih dari 70 tahun menjelaskan bahwa teknologi stem cell tidak hanya bisa digunakan untuk pengobatan saja melainkan juga bisa digunakan untuk menghambat proses penuaan (Anti Aging Medicine) maka muncul pertanyaan berikutnya apakah para pakar-pakar tersebut yang nota bene sudah pada lanjut usia nantinya masih sempat menikmati teknologi stem cell itu? inilah yang saya sebut dengan ironi.

Saya bertanya lagi dalam hati apakah stem cell pada saatnya kelak memang benar akan menjadi harapan gemilang yang bersifat permanen? hampir semua pakar dan para ilmuwan sangat mengandalkan science dan bahkan cenderung mendewakan ilmu pengetahuan, memang dalam kadar tertentu teknologi medis dapat membantu umat manusia mengatasi berbagai jenis penyakit dengan cara yang canggih tapi jangan lupa konsekuensinya, teknologi medis canggih sudah pasti sangat mahal harganya sehingga tidak semua orang dapat menikmatinya kelak, disamping itu masih banyak aspek-aspek etis dan hukum yang terkait, sebab ada juga teknologi stem cell yang melanggar norma-norma etis dan kemanusiaan seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. dr. MK Tadjudin ketua Pokja Stem Cell Komisi Bioetika Nasional, isu penelitian stem sel dapat ditinjau dari segi ilmiah, etika dan hukum. Menurutnya bila stem cell ini digunakan sebagai regenerasi atau therapeutic diperbolehkan. Yang tidak diperbolehkan adalah membuat cloning (suatu individu hidup yang utuh).

Karena itu saya berpikir pada akhirnya semua alternatif pengobatan modern apapun sifatnya semu, tidak dapat memecahkan alasan mendasar umat manusia, semua orang toh tetap saja akan sakit, usia tua dan akhirnya mati. Andaikatapun para ahli dapat memperpanjang umur orang ada beberapa problem lain yang akan terjadi, apakah orang yang panjang umurnya itu akan hidup senang di tengah-tengah dunia yang semrawut ini, penuh dengan problem politik, sosial, peperangan, bencana alam, polusi udara, air dan tanah serta problematik lainnya yang notabene tidak dapat dihindari oleh orang yang kaya raya atau para ahli sekalipun, sejarah peradaban manusia sudah membuktikan bahwa dunia ini semakin rusak di bawah kendali manusia. Disamping itu apa enaknya umur panjang jika teman-teman sebaya dia rata-rata sudah meninggal sehingga dia akan menjadi orang lansia yang kesepian tidak ada teman sebaya lagi selain itu anak-anak serta family sudah sibuk masing-masing dan tidak begitu peduli terhadapnya.

Jadi bagaimanapun juga manusia pada akhirnya tetap membutuhkan sumber kekuatan yang bersifat adimanusiawi atau istilah lain supranatural (dalah 'bahasa agama' dikenal dgn istilah Tuhan sang pencipta) untuk pemecahan problematik secara permanent. Tidak ada seorang ilmuwan pun di dunia ini yang sanggup meniadakan penyakit atau menahan kematian atau memperpanjang umur manusia dalam kadar unlimited. Tidak ada seorang pakar pun yang sanggup memperpanjang umur manusia. Ujung-ujungnya manusia pada akhirnya toh akan bermuara kepada pencarian akan kekuatan adimanusiawi tersebut dalam mengatasi segala jenis problem umat manusia secara permanen khususnya dalam topik ini yaitu problem penyakit, usia tua dan kematian, anda percaya atau tidak waktu sajalah kelak yang akan membuktikannya.

17 July 2006

Dilematis skala mayoritas dan minoritas

Salah satu kecenderungan manusia yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita adalah mengikuti suara terbanyak, opini publik, trend terkini, suara dari kelompok mayoritas, dan skala jumlah pengikut. Apabila seseorang dihadapkan kepada suatu situasi tertentu yang mengharuskannya untuk memilih atau memutuskan suatu hal maka konsep mengikuti "suara orang kebanyakan" adalah suatu paradigma yang seolah-olah wajib sifatnya. Skala kuantitatif dari suatu pendapat atau opini lebih disukai dan dipercaya sebagai indikator kebenaran. Anda mungkin pernah menonton acara kuis Who Wants to Be a Millionaire di RCTI asuhan Tantowi Yahya. Dalam acara kuis tersebut ada tiga bantuan bagi peserta jika pertanyaan yang diajukan sulit dijawabnya, salah satu bantuan yang cukup menjebak menurut saya adalah "Ask the audience". Para hadirin dipersilahkan memberikan jawaban, dan peserta dipersilahkan apakah mau mengikuti jawaban terbanyak dari hadirin ataukah tetap ingin menjawab sendiri. Saya pernah menonton beberapa kali ada peserta yang begitu yakin mengandalkan "Ask the audience" namun faktanya ternyata jawaban terbanyak dari hadirin tersebut justru salah, malahan jawaban audience yang cuma sedikit itu yang benar.

Contoh lain misalnya ada banyak sekali orang yang pakai produk Handphone merk tertentu yang populer, karena orang ramai-ramai beli HP merk tertentu maka semua ikut-ikutan atau istilah lainnya latah, sampai-sampai dulu pernah ada istilah “handphone sejuta umat”, hanya sedikit orang yang berani tampil beda masih bertahan dengan merk kurang populer lainnya. Contoh lainnya lagi saya pernah iseng-iseng masuk ke sebuah restoran pinggir jalan di daerah tertentu yang pengunjungnya sangat banyak, bahkan cenderung antri, tapi ironisnya ketika saya coba ternyata makanannya biasa saja tidak seenak yang dibayangkan, bahkan ada satu restoran yang pengunjungnya sedikit menurut saya jauh lebih enak masakannya. Tapi apa mau dikata memang faktanya “keramaian” sering kali menjadi indikator bagi kebanyakan orang dari pada kualitas. Di sisi lain apabila suatu produk tertentu dihindari banyak orang maka orang akan ikut-ikutan menghindari product tersebut, sebut saja misalnya mobil merk tertentu yang dulu sempat dijadikan Taxi, opini public langsung mendiskreditkan mobil tersebut sebagai mobil kelas bawah yang kurang layak dibeli oleh "orang berduit" padahal perusahaan Taxi tersebut memakai mobil merk tersebut sebagai armada Taxinya pasti atas dasar bahan pertimbangan segi kualitas mobil, misalnya karena mesinnya handal, onderdilnya kuat dan tahan lama, bahan bakarnya irit dan lain sebagainya. Hanya orang-orang idealis saja yang walaupun "berduit" atau kaya masih bertahan memakai mobil merk tersebut karena standard kualitas walaupun opini public telah mencap merk tersebut sebagai "mobil Taxi" yang tidak pantas dipakai orang-orang "berduit" waktu itu.

Saya melihat kecenderungan manusia memang demikian, mengandalkan suara terbanyak, skala mayoritas, opini public, karena orang cenderung merasa aman kalo ramai-ramai. Alasannya mungkin karena kebanyakan orang tidak mau repot-repot exploring mencari tahu sendiri kualitas suatu produk tertentu, dan lebih mengandalkan suara terbanyak ketimbang harus repot cari tahu sendiri. Atau ada juga alasan lain yang menyebabkan demikian, ada beberapa orang yang memang tidak mau ambil resiko “tampil beda”, bayangkan saja ilustrasinya kalau misalnya dalam suatu komunitas dari 1000 orang yang suka sama buah durian cuma kita sendiri saja yang tidak suka bahkan muntah kalo makan durian. Biasanya orang yang “berbeda” dari kebanyakan akan dicap aneh, unik dan segala cap negatif lainnya. Itulah sebabnya para marketing yang membuat iklan di TV menggunakan trend tersebut. Apakah anda pernah simak salah satu iklan dari Simpati di TV dengan motto “ada 15 juta orang memilih simpati mengapa anda harus berbeda?" dalam adegan iklan tersebut diperlihatkan ada salah satu suporter bola yg salah tempat duduk. Kenapa iklan tersebut tidak mengatakan misalnya “ada 15 juta orang memilih simpati karena kualitas dan bukan tanpa alasan". Karena memang tidak peduli alasan apapun yang menyebabkan 15 juta orang memilih simpati, yang penting adalah jumlah quantitas pemakai simpati tersebut, itu saja sudah cukup menjadi indikator bahwa produk tersebut sukses di pasaran. Dengan kata lain kebanyakan orang mengukur mutu suatu produk hanya melalui skala quantitas pemakai produk tersebut. Padahal pada kenyataannya ukuran tersebut tidaklah cukup untuk menilai kualitas produk tertentu, dibutuhkan ujicoba dan penelitian yang seksama, oleh karena itulah khusus untuk produk makanan dan obat-obatan yang notabene dikonsumsi oleh manusia, pemerintah membentuk suatu Badan independent yang dinamakan Dirjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan) agar semua produk tersebut benar-benar teruji dan standar pengujian tersebut tidak pandang bulu, produk yang telah sukses beredar di pasaran dan diminati banyak orang juga tak lolos dari ujian.

Sekarang coba kita kaji sehubungan dengan eksistensi Agama? tidakkah anda juga melihat hal yang sama terjadi dalam hal agama? Kualitas agama lebih di-indikatorkan atas dasar jumlah pengikut ketimbang daripada kebenaran ajarannya. Itulah sebabnya kelompok agama baik agama induk maupun sekte-sekte berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin pengikut, anggota atau penganut. Parameter benar tidaknya suatu agama diukur dari banyak jumlah pengikutnya di seluruh dunia, apabila suatu kelompok agama jumlah pengikutnya sedikit atau sekelompok golongan minoritas maka bisa dipastikan kelompok tersebut akan dikucilkan, tidak diperhitungkan atau bahkan bisa dicap agama sesat. Maka tidakkah seharusnya agama juga diselidiki kebenarannya dan diawasi ajarannya agar tidak menyimpang dari kitab suci dari agama itu sendiri? hal ini tidak kalah penting dengan produksi makanan yang perlu diawasi oleh dirjen POM, sebab kepercayaan dan iman terhadap agama tertentu juga menyangkut soal keselamatan. Apakah skala pengikut mayoritas dapat menjadi indikator benar salahnya suatu hal? coba renungkan ilustrasi berikut: apakah jika korupsi sudah merupakan suatu kebiasaan atau tradisi dan banyak orang yang melakukannya maka hal itu menjadi benar? atau apakah hubungan seks pranikah yang notabene telah menjadi suatu kondisi yang lumrah dilakukan oleh kebanyakan remaja dengan demikian menjadi perbuatan yang benar? Tentu tidak bukan. Tetap saja ada standar moralitas yang baku yang semestinya dipakai sebagai bahan acuan.

Kalau kita lihat sejarah agama-agama besar di dunia ini dulunya juga adalah kelompok minoritas yang pengikutnya juga tidak diperhitungkan, catatan dalam kitab suci mencatat bagaimana Nuh (beberapa agama menyebut Nabi Nuh) dan keluarganya saja yang selamat dari penghukuman Tuhan berupa banjir besar atau air bah, hanya yang masuk ke dalam bahtera Nuh saja yang selamat. Demikian juga bagaimana hanya Lot dan kedua putrinya saja yang selamat dari pembinasaan Tuhan terhadap kota Sodom dan Gomorah. Dan bagaimana pada awalnya hanya 12 orang saja yang menjadi murid Yesus (nabi Isa) di tengah-tengah banyak orang Yahudi panganut agama Judaisme dan para ahli taurat orang Farisi yang menentang mereka. Kalau kita simak sejarahnya para tokoh perintis agama tersebut berani tampil beda di tengah-tengah suatu golongan mayoritas dan di tengah-tengah tatanan yang sudah mapan.

Bagaimana dengan kita, apakah kita juga mengukur benar-tidaknya suatu agama hanya dari skala kuantitas jumlah pengikut semata? sebenarnya kalau kita kaji lebih jauh hanya situasi dan kondisi tertentu dalam sejarah saja yang menjadikan suatu wilayah terbagi dalam kelompok mayoritas dan minoritas, jika kita tinggal di kota Roma mayoritas penduduknya beragama Katolik, kebetulan kita tinggal di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, jika kita tinggal di India maka mayoritas penduduknya beragama Hindu, jika kita tinggal di negara China maka mayoritas penduduknya beragama Budha, demikian seterusnya. Maka skala mayoritas hanyalah faktor wilayah saja bukan indikator benar tidaknya suatu agama. Maka apakah kita lebih cenderung ikut-ikutan dengan suara terbanyak atau golongan mayoritas belaka? atau apakah kita lebih senang memutuskan bagi diri kita sendiri mana yang benar dan salah setelah melalui banyak penyelidikan, pencarian dan riset pribadi walaupun resikonya kita bisa tampil berbeda dari kebanyakan orang? Kalau saya pribadi memilih yang terakhir yaitu mencari tahu dan menggali sendiri kebenaran ketimbang menggantungkan kebenaran dipundak para pendeta/pastur/uztad/biksu dan para pemimpin agama dari golongan mayoritas, seolah-olah dengan pasrah membiarkan mereka yang memutuskan benar-salahnya segala hal terhadap diri saya.

23 May 2006

Standarisasi Tertutup

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang dokter Nefrologi (ahli penyakit ginjal) dalam pertemuan perbincangan seputar proyek pengembangan Hospital Information system. Sebenarnya topik utama perbincangan adalah seputar pembuatan software IT untuk Medical Records khusus pasien penyakit Ginjal, karena spesialisasinya saya memang adalah consultant dan software engineer di bidang Hospital System dan saya juga ikut dalam jajaran pengurus IKCC / Indonesia Kidney Care Club maka saya dipercaya untuk membangun aplikasi system tersebut. Namun yang ingin saya tulis di sini bukanlah tentang proyek tersebut melainkan tentang salah satu topik pembicaraan yang berhubungan dengan kebenaran yang tertutup selama ini dikalangan awam tentang Cuci darah (Hemodialisa) bagi para penderita penyakit ginjal.

Dokter tersebut mengatakan bahwa standard cuci darah di Indonesia masih dibawah standard international. Hampir kebanyakan penderita penyakit ginjal di Indonesia saat ini mengetahui bahwa cuci darah cukup dilakukan sebanyak 2X seminggu saja. Ternyata standard itu diterapkan di Indonesia hanya karena mempertimbangkan biaya cuci darah yang cukup mahal, sehingga untuk orang-orang di Indonesia yang pendapatan perkapitanya masih jauh dibawah negara-negara berkembang lain biaya untuk cuci darah merupakan beban yang sangat berat untuk ditanggung. Akan tetapi rupanya cuci darah yang ideal dan efektif seharusnya 3X seminggu seperti yang memang diterapkan sebagai standard di luar negeri. Perbedaan standard ini dapat berdampak serius terhadap kesehatan penderita dan harapan perpanjangan hidup bagi sang pasien. Ironisnya perbedaan standard cuci darah tersebut kurang disosialisasikan kepada pasien-pasien Ginjal di Indonesia, sehingga tingkat pengetahuan para pasien juga rendah. Dilematis memang karena beberapa dokter yang saya tanya pernah mengatakan bahwa hanya ada tiga pilihan bagi seorang penderita selama selama sisa hidupnya: 1.Cuci Darah plus pengobatan lain (Pilihan mutlak kalau mau tetap hidup), 2.Transplantasi organ ginjal (jika punya uang banyak), 3.Berdoa sambil nunggu mukjizat (jika nggak punya uang). Sebagai informasi biaya sekali cuci darah berkisar Rp. 500.000,- maka jika cuci darah sesuai standard dalam sebulan adalah (3 x 500.000) x 4 = Rp. 6.000.000,-

Nah persoalannya jika pilihan No.1 diputuskan, itu artinya haruslah sesuai standard yang ideal agar supaya hasil yang diharapkan juga maksimal. Namun berhubung karena standard di Indonesia cukup dilakukan 2X seminggu (yang seharusnya 3X seminggu) maka tingkat kesuksesan dan perpanjangan hidup si pasien juga tidak optimal. Itulah sebabnya angka kematian karena penyakit ginjal di Indonesia cukup tinggi. Memang pilihan kembali dihadapkan kepada para pasien, apakah mau ambil terapi cuci darah 2X seminggu dengan harga lebih murah namun beresiko ataukah ambil terapi cuci darah 3X seminggu dengan harga yang lebih mahal tetapi hasilnya bisa lebih maksimal dan significant.

Namun persoalan yang masih mendasar menurut saya adalah sehubungan dengan kebenaran tentang standard cuci darah tersebut. Sudah seharusnya informasi itu disosialisasikan oleh para praktisi medis kepada seluruh penderita penyakit ginjal dan orang awam. Jangan menutupi kebenaran hanya agar para pasien tetap bisa cuci darah walaupun tidak sesuai standard, hanya agar pemasukan uang bagi para praktisi medis atau para dokter dan rumah sakit bisa tetap berkesinambungan (business oriented).

18 May 2006

Selamat tinggal Ayahku terkasih

Tanggal 15 mei 2006 jam 22:45, ayah saya akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, setelah beberapa bulan keluar-masuk rumah sakit karena gagal Jantung. Almarhum ayah saya meninggal di rumah setelah seminggu keluar dari RS.Jantung Nasional Harapan Kita. Saya menyaksikan proses perjuangan almarhum untuk tetap hidup dan terus menarik nafas seraya selang tabung oksigen dipasang dihidungnya, namun ternyata itulah perjuangan terakhirnya di dunia ini, almarhum ternyata tidak kuat lagi bahkan untuk menghirup oksigen dan akhirnya meninggal di kamar tidurnya di samping saya. Selesai sudah perjuangan almarhum ayah saya (Drs. Sounggilon Gultom) dalam mengarungi kehidupannya yang cukup panjang dan penuh dengan lika-liku, asam-garam serta suka-duka kehidupan. Malam itu juga saya memutuskan untuk membawa jenazah ke rumah duka RS.Cikini, dengan pertimbangan agar para pelayat khususnya family dan kerabat dekat lebih mudah datang ke lokasi yang strategis di tengah kota. Besoknya pada tanggal 16 mei 2006 sekitar jam 15:20 sore ayah saya dimakamkan di TPU Pondok Rangon Cibubur, setelah sebelumnya dilakukan acara ceremonial pelepas Jenazah dari rumah duka dan ucapan belasungkawa dari semua family, kerabat dll. Selamat tinggal 'guruku', 'pembimbingku', 'sahabatku' dan ayahku terkasih.

12 April 2006

Problematik Moralitas

Beberapa waktu yang lalu dan mungkin juga sampai saat ini masih ramai diperbincangkan khususnya oleh para blogger tentang RUU-APP dari pemerintah yang sebenarnya mungkin bermaksud baik guna menjaga moralitas rakyat Indonesia agar selalu berada dalam koridor etika moral yang baik. Namun banyak sekali terjadi pro-kontra di mana-mana ada yang menolak ada yang setuju, yang cukup menarik adalah adanya kelompok yang menolak kedua-duanya (menolak RUU-APP dan juga menolak Pornografi itu sendiri), bahkan istri mantan presiden Gusdur ikut dalam demo tersebut. Saya jadi ingin mencoba mengulas dari perspektif lain. Saya melihat Rancangan UU APP atau konsep-konsep lain apapapun yang terkait dengan unsur agama secara implisit sepertinya telah menunjukkan kegagalan institusi agama itu sendiri dalam menjaga moralitas umatnya. Urusan moralitas itu sebenarnya idealnya bukanlah tanggungjawab pemerintah, melainkan tanggungjawab individu orang terhadap Tuhannya melalui mediasi institusi agama dan kitab suci sebagai landasan fundamental berpijak. Institusi agama seolah-olah telah kewalahan menjaga moralitas dan etika umatnya sehingga perlu meminta bantuan dari pemerintah politik, karena pemerintahlah yang punya kuasa untuk menekan dan memaksa rakyatnya melakukan peraturan tertentu, sedangkan insitusi agama seolah-olah hanyalah media penyuluhan belaka yang sepertinya tidak punya kendali hukum untuk “memaksa” umatnya mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang diajarkan oleh agama tersebut.
Mari kita coba breakdown apa saja sih yang seharusnya menjadi tugas pemerintah Indonesia saat ini. Ternyata ada begitu banyak sekali yang memang masih perlu dibenahi, seperti problem ekonomi, devaluasi, inflasi, problem infrastruktur (listrik, telekomunikasi, air bersih, jalan-jalan aspal yang rusak berat, kemacetan lalulintas), antisipasi bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung merapi), problem buruh dan pengusaha, problem pendidikan, problematik politik, pertikaian antar etnis dan antar kelompok, pemberantasan korupsi, peningkatan angka kejahatan dan korupsi, lemahnya supremasi hukum, dan mungkin masih banyak hal lain lagi. Mungkinkah pemerintah sanggup mengurusi problem moralitas sedangkan problem-problem tadi saja sampai saat ini masih morat-marit? Saya pribadi agak ragu, mohon maaf para penguasa apabila kata-kata saya ini menyinggung anda, kritikan saya ini sebenarnya berdasar dan bersifat membangun. Pada saat suatu konsep atau kepentingan institusi agama tertentu telah masuk dalam environtment politik negara, maka kekuatan agama itu sebagai media spiritual telah mengalami degradasi dan bahkan bisa hilang sama sekali. Wahai "agama" dimanakah kekuatanmu? Menurut saya idealnya institusi agama tidak pantas campur aduk dengan kepentingan politik atau urusan politik. Pemerintah hanya bisa membantu dari segi penegakan hukum (seperti tindak pidana dan perdata), tanggung jawab menjaga moral dan etika masyarakat semestinya diemban oleh institusi agama dengan para pemimpinnya seperti uztad, pendeta, pastor, biksu dll sebagai sumber teladan, informasi dan penyuluhan, tentunya berlandaskan kitab suci dari agamanya masing-masing.
Ironisnya lagi penegakan hukum di negara kita ini saja sudah terpuruk, hukum bisa dibeli dan dimanipulasi. Para penguasa politik yang korup dibiarkan bebas merajalela. Demikian juga dengan institusi agama itu sendiri, Kita lihat ada banyak sekali bukti-bukti dimana bahkan para pemimpin agama sendiri ada yang tidak memberikan teladan atau contoh moral yang baik. Ada tokoh-tokoh agama yang kawin-cerai, berzinah dan tindakan amoral lainnya, beberapa bahkan memanfaatkan wewenang di dalam institusi agama untuk meraih keuntungan materi dari umatnya. Nah sekarang timbul pertanyaan besar, bagaimanakah mungkin moralitas umat dan rakyat dapat dijaga dan diatur jika supremasi hukum saja sudah parah dan para pemimpin negara serta tokoh-tokoh agama juga tidak memberikan teladan yang baik dari segi moral? Sebagai contoh bagaimana mungkin seorang ayah dapat memerintah anaknya jika sang ayah tidak memberikan teladan dan bertindak munafik, pasti anaknya tidak akan respek terhadap ayah demikian, demikian juga dengan para penguasa dan tokoh-tokoh agama yang tidak memberikan teladan baik kepada umatnya akan menjadi suatu preseden yang buruk. Jadi menurut saya yang harus dibenahi saat ini adalah moralitas para pemimpin politik dan pemimpin agama terlebih dahulu, serta menegakkan supremasi hukum dan supremasi kaidah hukum agama itu sendiri, barulah setelah itu sukses turun ke rakyat dan umat.
Ada fenomena lain yang terjadi jika melihat butir-butir dari undang-undang tersebut, seolah-olah hanya perempuan sajalah yang selalu menjadi obyek sasaran atau bidikan hukum apabila ada problematik moralitas. bagaimana dengan laki-laki? Tidakkah seharusnya laki-laki juga perlu lebih diarahkan oleh ajaran agama untuk lebih menjaga nafsu birahinya terhadap perempuan?. Istilahnya dengan kata lain bahkan pelacurpun tidak akan menjajakan dirinya jika tidak ada laki-laki yang datang. Apabila ada kejahatan pemerkosaan mengapa hanya perempuan yang diarahkan untuk hati-hati, mengapa para laki-laki yang hidung belang tersebut tidak diajarkan dan diarahkan oleh "kekuatan" agama untuk tidak melakukan pemerkosaan? tidakkah itu adalah tanggungjawab dari para cendikiawan agama dengan institusinya untuk menyadarkan umatnya khususnya para laki-laki hidung belang? atau mungkinkah para lelaki hidung belang tersebut sudah malas ke mesjid, ke gereja dan tempat ibadat lain karena mereka sendiri melihat banyak kemunafikan di dalam agama dan tidak menemukan kebenaran sejati di dalam agama?
Itu sama halnya ilustrasinya dengan larangan dari para cendikiawan agama agar restaurant tidak buka pada saat bulan puasa, andaikan buka tidak boleh terlihat dari luar. Mengapa? tidakkah para ulama percaya bahwa umatnya yang telah dibekali ajaran agama sanggup untuk menahan nafsu ditengah-tengah banyak tantangan? Tidakkah lebih efektif apabila yang berpuasa itulah yang sebaiknya diajar untuk berlatih menahan nafsu makan pada saat bulan puasa walaupun ada banyak restaurant yang jualan? Kalau orang hanya mau berpuasa jika tidak ada tantangannya berpuasalah di kutub utara atau di hutan belantara yang notabene nggak ada restaurant yang jualan. Tidakkah pahalanya akan lebih besar jika menjalankan ibadah ditengah-tengah tantangan? Ada beberapa pertanyaan yang saya baca di media internet, apakah mungkin ada sesuatu dibalik ini semua? apakah mungkin ada beberapa organisasi agama yang memang menggunakan tunggangan politik untuk kepentingan kelompoknya. Sehingga pada suatu waktu tertentu kelompok itu dapat menguasai paradigma atau "pola berpikir dan bertindak" dari masyarakat khususnya di Indonesia yang sangat majemuk ini, sesuai dengan konsep berpikir kelompok tersebut, seperti yang pernah terjadi di Afganistan di bawah penguasa Taliban dulu, konon ceritanya penguasa Taliban melarang perempuan menonton televisi apalagi bioskop, dilarang menggunakan make-up yang pakai kutex kuku akan dipotong jarinya, perempuan dilarang menyetir mobil, perempuan dilarang berfoto, perempuan harus pakai cadar yang hanya terlihat matanya saja, dilarang juga mendengar musik-musik khususnya dari barat. Apa yang terjadi pada waktu larangan-larangan tersebut diterapkan di Afganistan? rakyat banyak yang menderita siksaan dan penderitaan khususnya kaum perempuan, mereka menjalankannya hanya karena takut dicambuk bukan karena tulus ingin menjalankan peraturannya, dan banyak yang ingin memberontak namun takut, sampai akhirnya sebuah organisasi perempuan berani muncul dan bersuara, nama organisasinya adalah Revolutionary Association of the Women of Afghanistan (RAWA) - www.rawa.org. Apakah nuansa semacam itu yang akan terjadi di Indonesia kelak apabila penguasa mulai campurtangan dalam urusan moralitas rakyatnya? who knows.........

02 March 2006

Obyektifitas

Obyektifitas saat ini memang merupakan suatu hal yang sangat jarang kita temui dan sangat sulit untuk diterapkan di dalam berbagai corak kehidupan. Contoh kecil saja apa reaksi anda jika anak anda atau ayah anda atau salah satu dari anggota keluarga anda berbuat jahat dan terpaksa berhadapan dengan aparat pengadilan, biasanya kebanyakan orang akan tetap membela sanak saudaranya walaupun telah melakukan tindakan kriminal. Ikatan persaudaraan lebih kuat daripada fakta kebenaran sehingga walaupun faktanya saudara kita bertindak jahat kita cenderung untuk tetap membelanya secara subyektif, inilah yang sering disebut dengan istilah Nepotisme. Contoh lain bagaimana reaksi anda jika negara kita dihina oleh negara lain dengan sebutan sebagai negara paling korup dan paling bobrok di dunia, beberapa orang yang berjiwa nasionalis tidak akan terima dan tersinggung apabila bangsanya dihina atau dikritik walaupun kritikan tersebut beralasan, apalagi kalau yang mengkritik itu adalah negara tertentu yang memang sedang dibenci oleh kebanyakan orang Indonesia. Tidak soal apakah ungkapan tertentu tersebut memang benar dan beralasan karena notabene di Indonesia korupsi, kolusi dan nepotisme memang telah berurat berakar dan cukup beralasan jika negara kita dijuluki demikian. Tetapi seberapa banyak orang Indonesia yang mau berpikir obyektif dan mau introspeksi diri sehingga bersedia menerima dengan rendah hati kritikan dari pihak luar? Inilah yang menjadi persoalan.

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel di surat kabar Kompas dan beberapa harian surat kabar lainnya yang mengulas tentang sepak terjang dari seorang milyarder keturunan Yahudi bernama George Sorosh yang menentang invasi Israel ke palestina. Bahkan Sorosh juga mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan, ia akan mengeluarkan uang jutaan dollar untuk menjegal George W. Bush agar tidak menjadi presiden Amerika Serikat lagi. Dia mengatakan bahwa pemerintahan Bush sangat berbahaya bagi terciptanya perdamaian antara Israel & Palestina, khususnya dan di timur tengah pada umumnya. Suatu fakta yang cukup menarik buat saya, sebab Sorosh adalah seorang Yahudi yang seharusnya membela bangsa Israel dan Amerika yang membantu bangsanya, namun sungguh suatu tindakan yang kontroversial dia menentang Amerika serikat yang notabene membantu rakyat Yahudi di Israel dalam misi menguasai Palestina padahal Israel merupakan tanah tumpah darahnya sendiri. Terlepas dari apa motivasi sebenarnya dari Sorosh dalam hal ini yang saya soroti adalah sisi keberaniannya menyatakan pendapat yang berbeda dari opini publik. Di sisi lain saya jadi teringat dengan Film “Schindler List” yang menceritakan sejarah nyata (true story) tentang seorang berkebangsaan Jerman dan juga tokoh partai Nazi bernama Oscar Schindler yang menyelamatkan ribuan orang Yahudi sehingga tidak dibantai oleh kekejaman Nazi Hitler di kamp-kamp konsentrasi pada tahun 1939-1945 dimana pada waktu itu Hitler mempropagandakan suatu genosida (pembantaian etnis) terhadap orang-orang Yahudi di Jerman. Schindler pada waktu itu benar-benar menonjol karena dia adalah tokoh terhormat di partai Nazi dan juga seorang pengusaha kaya namun dia membela rakyat Yahudi yang notabene sangat dibenci oleh orang-orang dari partai Nazi itu sendiri.

Kedua orang ini George Sorosh dan Oscar Schindler merupakan tokoh yang menurut saya dalam kadar tertentu telah sukses menerapkan obyektifitas. Mereka berdua berani melihat suatu kasus dengan fair tanpa melibatkan subyektifitas. Hal yang sama juga saya amati berkenaan dengan agama, Ada beberapa reforman Kristen jaman dahulu yang berani melawan “arus” dengan mengkritisi ajaran para pemimpin Gereja Kristen walaupun mereka adalah orang Kristen misalnya Arius, John Huss, John Wycliff, William Tyndale dan Martin Luther, dll. Orang-orang tersebut adalah para tokoh cendikiawan Kristen namun berani menentang kesalahan para pemimpin agama Kristen. Namun di sisi lain kita dapat melihat fakta bahwa sepanjang sejarah ada banyak juga orang yang telah membabi-buta membela institusi agamanya tanpa mau sedikitpun dikritik oleh pihak lain walaupun kritikan tertentu beralasan dan bersifat membangun. Ini yang disebut dengan fanatisme buta, orang seperti ini tidak akan mau menerima kritikan apapun dari pihak lain sebab orang fanatik menganggap bahwa hanya kelompok dia sajalah yang benar sedangkan kelompok lainnya sesat dan selain itu pikirannya sudah ditutup rapat-rapat dari konsep luar apapun yang bertentangan dengan konsep kelompoknya. Ini yang disebut oleh pepatah “katak dalam tempurung” sebutan untuk orang yang tidak pernah mau membuka diri secara comprehensive terhadap hal-hal diluar konsep yang telah dia miliki. Sebenarnya konsep membuka diri tidaklah berarti menerima begitu saja konsep diluar kita, mempelajari hal tertentu bukan berarti setuju dengan hal tersebut, sebagai contoh misalnya kita belajar tentang sejarah agama-agama animisme penyembah berhala kan itu tidak berarti bahwa kita menerima dan mengikuti agama animisme tersebut, tetapi tujuannya adalah agar kita tahu fakta sejarah tentang agama-agama animisme. Demikian juga dengan fakta sejarah tentang kelemahan tertentu dari para tokoh agama yang adalah manusia biasa yang tidak sempurna, hal itu tidak akan melemahkan kedudukan Tuhan sang maha kuasa. Alkitab Injil bahkan mencatat sejarah kelemahan dari seorang Rasul yang terkenal dikalangan umat Kristen yaitu Rasul Petrus yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali ketika Yesus ditawan dan hendak dibunuh. - Markus 14:66-72. Selain itu Alkitab juga mencatat sejarah tentang kegagalan raja Daud yang diurapi Tuhan yang belakangan berbuat zinah dengan istri orang dan bertindak kejam - 2 Samuel 11:2-27. Demikian juga ketika nabi Musa berbuat salah tidak memuliakan Allah di hadapan orang Israel melainkan mengatakan bahwa Musa yang mengeluarkan air dari bukit Meriba bukan Tuhan. Bilangan 20:1-12. Dan bagaimana raja Salomo atau Sulaiman memiliki istri banyak ada 700 istri dan 300 gundik dan belakangan meninggalkan Allah dan menyembah berhala - 1Raja-Raja 11:1-10. Jadi sebenarnya kesimpulannya apapun kegagalan yang pernah dilakukan hamba-hamba Tuhan para Nabi dan para Rasul, itu sama sekali tidak akan mempengaruhi atau mengurangi kredibilitas kemahakuasaan dari Tuhan sang pencipta yang maha kuasa, tidakkah demikan menurut anda. Jadi janganlah kita “men-Tuhankan” Nabi atau Rasul yang notabene adalah manusia biasa, melainkan “Tuhankanlah” sang pencipta yang maha kuasa, Allah yang bertahta di Surga. Oleh karena itu berpikiran obyektif lebih bijaksana dan masuk akal ketimbang subyektif, sebab hali ini akan membuat kita lebih bisa mengendalikan diri dengan smart dan lebih dewasa dalam menanggapi segala hal yang tidak ideal di dunia ini. Selamat merenung sambil membaca artikel ini secara obyektif juga.

12 February 2006

Ada apa dengan Agama?

Seorang tokoh filsuf yang dulu pernah diagungkan oleh orang-orang atheis dan komunis pernah mengungkapkan suatu kalimat sehubungan dengan agama, dia mengatakan “Religion is the opium of the people” - Karl Marx (1818 - 1883) yang artinya bahwa “agama adalah candu masyarakat”, kalau kita benar-benar menyelidiki sejarah umat manusia sehubungan dengan tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, agama serta pola berpikir masyarakat, memang ungkapan Karl Marx ini seolah-olah memiliki dasar yang cukup masuk akal. Mengapa demikian? sepanjang sejarah hingga sekarang ini kecenderungan umat manusia dalam memeluk agamanya atau kepercayaannya seringkali bermotivasikan kepentingan diri sendiri ketimbang bermotifasikan pengabdian tulus tanpa pamrih kepada sang maha pencipta, sehingga agama memang seolah-olah seperti candu atau opium yang dapat meninabobokan seseorang ditengah-tengah segala macam penderitaan hidup. Coba saja kita kebanyakan agama yang mungkin mengajarkan bahwa apabila seseorang melakukan kebaikan maka dia nantinya akan masuk surga kemudian dapat menikmati segala jenis kenikmatan hidup di sana, sedangkan kalau seseorang melakukan kejahatan maka mereka akan menerima siksaan kekal di dalam api neraka, mereka akan disiksa hidup-hidup, dibakar, … dan mungkin segala bentuk penyiksaan lainnya yang sangat mengerikan (walaupun sebenarnya konsep ini jelas bertentangan dengan sifat Tuhan yang maha pengasih dan penyayang yang tidak pernah ingin menyiksa orang walaupun orang itu jahat, Tuhan lebih menginginkan orang jahat tersebut bertobat dari kejahatannya dan mendapat kesempatan untuk diselamatkan ketimbang untuk disiksa - beberapa agama lain memiliki konsep demikian). Ada fakta ironi yang dapat kita lihat dari sisi lain, misalnya ada beberapa oknum umat tertentu yang rela mati atau bahkan mematikan atau membunuh orang lain dalam aksi bom bunuh diri yang mereka sendiri menyebutnya dgn konsep jihad demi mendapatkan "tiket cepat ke surga". Coba kita kaji lebih dalam, jika tidak ada konsep surga dan neraka apakah orang-orang masih akan tetap mau tulus beribadat kepada Tuhan?. Fakta lainnya ada banyak sekali orang yang berpindah-pindah agama hanya karena ingin menemukan “pelarian” dari sebuah penderitaan, atau ingin mendapatkan suatu “pengakuan” jati diri semata ditengah-tengah suatu kemelut hidup. Saya ambil contoh sebut saja seorang yang sedang menderita penyakit akut yang tadinya beragama A, kemudian singkat cerita orang ini mendapat kesembuhan penyakit secara mukjizat dari seorang alim ulama beragama B, dapat ditebak orang yang mendapat kesembuhan tersebut akan dengan mudah berpindah agama dari agama A menjadi agama B karena dia telah mendapatkan kesembuhan dari penyakitnya. Contoh kasus lain ada seorang yang beragama A sedang jatuh cinta dengan seorang wanita yang beragama B, cinta mereka sedemikian kuat sehingga hal ini akan membuat salah satu dari kedua pihak meningalkan agamanya demi mendapatkan cintanya, dengan kata lain agama hanyalah semacam “pengakuan” jati diri semata demi mendapatkan suatu tujuan yang diinginkan. Ada kondisi lain yang dapat kita temui di dalam masyarakat sehubungan dengan konsep berpikir mereka terhadap agama, saat ini agama seolah-olah menjadi semacam tembok yang mengelompokkan pengikutnya ke dalam satu kesatuan exlcusive….sama halnya seperti kesatuan etnis atau suku, nasionalisme atau kebangsaan. Kata “beragama” sudah sangat identik dengan ketaatan pada sebuah institusi atau organisasi agama ketimbang kepada nilai spiritual di dalam diri umatnya sehingga tak jarang ada orang yang tidak pernah menjalankan ibadatnya namun tetap membela institusi agamanya jika terjadi pertikaian antar umat beragama. Coba saya simulasikan hal ini agar anda dapat lebih memahami korelasinya, apa yang terjadi jika ada orang lain yang mendiskreditkan suku anda atau kebangsaan anda? Apa kira-kira reaksi anda? kebanyakan orang akan marah dan tersinggung jika suku atau etnisnya dicela atau dikritik walaupun kritikan yang diberikan cukup beralasan. Tidakkah demikain halnya dengan agama? apa yang terjadi jika ada orang lain yang mendiskreditkan agama atau kepercayaan kita? Apa kira-kira reaksi anda? kebanyakan orang akan marah dan tersinggung jika agamanya dicela atau dikritik walaupun mungkin kritikan yang diberikan cukup beralasan. Coba anda perhatikan berita-berita di televisi banyak orang tiba-tiba tampil anarkis untuk membela agamanya walaupun pada dasarnya belum tentu mereka menjalankan ibatnya secara konsekwen. Sepanjang sejarah peperangan umat manusia di bumi ini, cukup banyak yang didasari atas friksi antar suku atau antar bangsa. Begitu banyak perang-perang antar suku, perang-perang besar antar bangsa yang didasari atas kebanggaan yang tidak rasional terhadap komunitas kesukuan dan kebangsaan atau nasionalisme. Sama halnya seperti Nazi Hitler dulu yang pernah membantai jutaan orang hanya atas dasar kebanggan ras, demikianlah juga berkenaan dengan agama, ada banyak pertikaian dan peperangan atas nama agama disebabkan oleh karena kebanggaan dan exclusivistis terhadap kepercayaannya. Begitu banyak perang-perang antar agama atau mengatasnamakan agama yang didasari atas kebanggaan yang tidak rasional terhadap agama (salahsatu contoh sejarah perang salib). Umat beragama seolah-olah seperti suporter dari group sepak bola tertentu, sehingga sebagus apapun pemain sepak bola dari kelompok lain tidak akan dianggap, dan seringkali suporter sepakbola akan emosi dan marah besar jika pemain kelompok lawan dapat membuktikan bahwa pemain kelompoknya tidak becus bermain sepak bola. Ketimbang introspeksi diri suporter yang fanatik tidak akan bersedia menerima kekalahannya. Demikianlah juga halnya dengan umat beragama, katakanlah misalnya ada umat agama lain yang dapat membuktikan bahwa doktrin dari agamanya salah, seorang yang fanatik tidak akan mau menerima hal ini, dan cenderung akan emosi dan marah ketimbang rela untuk dialog secara terbuka. Nah hal-hal ini semua yang mungkin menyebabkan Karl Marx menulis bahwa “agama adalah candu masyarakat”. Orang-orang tidak lagi menjadikan agama itu sebagai “jalan hidup” atau “way of life” melainkan hanya sebagai attribute kelompok atau tanda pengenal saja atau cenderung sebagai pelarian belaka. Itulah sebabnya seringkali muncul kebanggaan-kebanggaan yang bersifat competitive atau bersaing dalam arti memvonis agama lain sesat dan menganggap bahwa agamanyalah yang benar.

07 January 2006

Motivation VS Limitation

Akhir-akhir ini banyak sekali bermunculan orang - orang yang merepresentasikan diri mereka sebagai konsultan "power of motivation". Mereka menawarkan suatu paradigma sehubungan dengan konsep positif thinking, optimisme dan motivasi, saya pernah beberapa kali mengikuti seminar-seminar yang diadakan oleh beberapa konsultan tersebut (sepertinya kurang etis untuk menyebutkan namanya). Disamping itu saya pernah membaca beberapa artikel yang terkait dengan konsep positif thinking, dan setiap berangkat ke kantor atau pulang dari kantor kadang-kadang saya menyetel radio Smart FM 95.9 Mhz dan beberapa radio lain di dalam mobil saya, topicnya berisi pembahasan talk show berkisar konsep “power of motivation”, isi pembahasannya seputar optimisme, motivasi, berpikiran positif. Dulu saya juga pernah mengikuti beberapa seminar MLM (Multilevel Marketing) seperti CNI dan Amway. Jujur saja saya kagum dengan para pakar yang menawarkan konsep-konsep tadi dan jika ditinjau dari segi positif memang sasaran dari konsep yang ditawarkan oleh para pakar motivasi tersebut sangat bermanfaat untuk membentuk pola berpikir positif dari setiap orang, sehingga mendidik orang agar tidak lagi cepat menyerah dalam menjalani segala hambatan dan problematik kehidupan ini. Akan tetapi dari beberapa konsep yang ditawarkan tersebut ada yang saya rasakan kurang "membumi" seolah-olah segala hal bisa dilakukan dengan kekuatan diri kita tanpa memandang bahwa sebenarnya ada suatu batasan manusiawi atau yang kita kenal dengan istilah kodrat. Ada banyak sekali kondisi-kondisi tertentu yang berada diluar kendali dan kekuatan kita, sebagai contoh, penyakit, usia tua, kecelakaan, kematian, bencana alam, hukum alam dan terakhir hukum Tuhan. Semua kondisi tersebut dapat menjadi penghalang yang tak terelakkan, tak terduga dan tak terbendung pada saat kita sedang menjalani perjuangan hidup ini dengan konsep positif thinking tadi. Ada lagi pemikiran lain yang ditawarkan oleh para konsultan motivasi tadi yaitu tentang konsep untuk meraih status menjadi orang yang lebih unggul daripada orang lain. Ada seorang konsultan berkata kepada saya, jangan mau menjadi orang biasa atau “ordinary people” bertekadlah untuk menjadi orang yang luar biasa. Saya melihat adanya unsur semangat persaingan dari konsep tersebut, saya jadi teringat dengan orang-orang di jaman dahulu yang mengajarkan anak-anaknya dengan mengatakan “capailah cita-citamu sampai setinggi langit”. Banyak anak-anak yang dipaksa oleh orang tuanya untuk bersekolah setinggi-tingginya sesuai dengan trend dunia walaupun mungkin jurusan pendidikan yang dipilih orang tuanya tidak sesuai dengan minat sang anak. Orang tua dalam hal ini beranggapan bahwa mereka berpikiran positif hanya ingin agar anaknya tidak kalah bersaing dan menjadi orang yang sukses serta lebih unggul daripada anak-anak lainnya kelak, dengan kata lain orang tua tersebut hanya ingin meningkatkan power of motivation sang anak. Ironisnya begitu banyak anak-anak yang dipaksakan sejak kecilnya bersekolah tinggi akhirnya setelah dewasa harus menelan pil pahit kehidupan karena tetap saja sulit mendapatkan lapangan pekerjaan sebab kondisi persaingan yang sangat kompetitif. Itulah yang saya namakan dengan kondisi tertentu diluar kemampuan kita, hal-hal kecil dapat kita lihat sehari-hari dalam hidup kita, misalnya katakanlah kita adalah seorang yang disiplin dan tepat waktu, kita punya kedudukan di sebuah perusahaan dan sedang menuju ke kantor untuk meeting komisaris, semua orang telah mengenal kita sebagai orang yang tepat waktu, ternyata di perjalanan tanpa di duga kemacetan lalu lintas luar biasa sehingga kita terlambat sampai kantor sektiar 2 jam, minggu depannya ada meeting lagi dengan direksi namun kali ini kita terlambat karena mobil kita menabrak gerobak bakso yang sedang menyeberang jalan, tiga hari kemudian ada meeting lagi dan kali ini juga terlambat karena di tengah jalan istri kita menelpon bahwa anak kita mendadak sakit keras. Apakah orang mau concern dengan problem-problem kita yang menyebabkan kita terlambat? belum tentu, bisa jadi orang menganggap kita hanya mencari dalih untuk membenarkan diri. Tapi intinya yang saya mau katakan bahwa kita dibatasi oleh ketidakmampuan tertentu di dalam hidup ini.

Saya terkadang merenung andaikata semua manusia di bumi ini hanya mau menjadi orang yang besar dan lebih unggul daripada orang lain, bagaimana jadinya apabila di bumi ini tidak ada lagi orang yang mau mengerjakan hal-hal kecil yang kadang dianggap tidak berarti. Coba bayangkan bagaimana jadinya apabila tidak ada orang yang mau menjadi tukang sampah atau pembantu di lingkungan rumah anda? Coba bayangkan bagaimana jadinya apabila tidak ada yang mau jadi office boy atau satpam di kantor anda? Coba bayangkan bagaimana jadinya apabila tidak ada yang mau jadi supir bus atau masinis kereta api? Coba bayangkan bagaimana jadinya apabila tidak ada yang mau menjaga pintu tol atau pintu gerbang lintasan kereta api?. Saya teringat dengan mesin mobil yang menggunakan system karburator, apabila karburator itu dicopot dan dipreteli komponennya satu persatu maka akan terdapat beberapa onderdil yang berukuran kecil, tapi mekanik atau montir pernah mengatakan kepada saya bahwa satu onderdil kecilpun copot maka mobil tersebut tidak akan bisa distarter hidup. Hal ini meng-ilustrasikan bahwa sekecil apapun eksistensi atau kontribusi kita di dalam dunia ini kita bisa berada pada posisi yang sangat berharga, atau sebaliknya sehebat apapun posisi anda saat ini suatu saat tertentu anda akan berhadapan pada kondisi yang anda sendiri tidak dapat kendalikan. Saya teringat dengan sebuah joke atau anekdot yang saya dengar di radio tentang seorang pendeta dan seorang supir yang setelah mati keduanya naik ke surga, namun sang pendeta berada pada tingkat lebih rendah daripada sang supir di surga sana. Sang pendeta protes terhadap malaikat mengapa dia berada pada posisi dibawah sang supir di surga, sang malaikat mengatakan kepadanya bahwa ketika sang pendeta berkhotbah di mimbar para umat jemaat tertidur, tetapi ketika sang supir mengendarai bus para penumpang berdoa.

Jadi saya berkesimpulan ketimbang kita terlena dengan konsep yang tidak realistis sehubungan dengan menjalani hidup ini, lebih baik kita tetap “membumi” dan realistis. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus menerima nasib dan berpangku tangan atau berpasrah diri seolah-olah kita tidak perlu berbuat apa-apa untuk merubah nasib atau bermalas-malasan, bukan itu maksud saya. Kita masih tetap bisa memiliki motivasi dan optimisme dalam hidup ini namun jangan pernah lupa diri atau melanggar kodrat kita sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan, dan jangan lupa juga terhadap Tuhan sang pencipta yang maha kuasa yang sanggup membantu dan membimbing kita dalam menghadapi segala macam problem ketimbang selalu mengandalkan kekuatan diri sendiri. Dan satu hal lagi konsep untuk selalu lebih unggul daripada orang lain adalah konsep yang akan menjebak kita ke dalam semangat persaingan yang tidak realistik. Just be your self, jadilah diri anda sendiri jangan banding-bandingkan diri anda dengan orang lain, jangan berusaha menjadi sesuatu atau seseorang yang anda tidak sanggup raih. Apapun eksistensi anda saat ini, apapun pekerjaan anda saat ini baik itu besar ataupun kecil dari segi ukuran dunia ini, walaupun dunia menganggap anda orang yang tak berharga menurut saya anda tetap manusia yang berharga paling tidak di mata Tuhan sang pencipta yang maha kuasa.