Powered By Blogger

02 March 2006

Obyektifitas

Obyektifitas saat ini memang merupakan suatu hal yang sangat jarang kita temui dan sangat sulit untuk diterapkan di dalam berbagai corak kehidupan. Contoh kecil saja apa reaksi anda jika anak anda atau ayah anda atau salah satu dari anggota keluarga anda berbuat jahat dan terpaksa berhadapan dengan aparat pengadilan, biasanya kebanyakan orang akan tetap membela sanak saudaranya walaupun telah melakukan tindakan kriminal. Ikatan persaudaraan lebih kuat daripada fakta kebenaran sehingga walaupun faktanya saudara kita bertindak jahat kita cenderung untuk tetap membelanya secara subyektif, inilah yang sering disebut dengan istilah Nepotisme. Contoh lain bagaimana reaksi anda jika negara kita dihina oleh negara lain dengan sebutan sebagai negara paling korup dan paling bobrok di dunia, beberapa orang yang berjiwa nasionalis tidak akan terima dan tersinggung apabila bangsanya dihina atau dikritik walaupun kritikan tersebut beralasan, apalagi kalau yang mengkritik itu adalah negara tertentu yang memang sedang dibenci oleh kebanyakan orang Indonesia. Tidak soal apakah ungkapan tertentu tersebut memang benar dan beralasan karena notabene di Indonesia korupsi, kolusi dan nepotisme memang telah berurat berakar dan cukup beralasan jika negara kita dijuluki demikian. Tetapi seberapa banyak orang Indonesia yang mau berpikir obyektif dan mau introspeksi diri sehingga bersedia menerima dengan rendah hati kritikan dari pihak luar? Inilah yang menjadi persoalan.

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel di surat kabar Kompas dan beberapa harian surat kabar lainnya yang mengulas tentang sepak terjang dari seorang milyarder keturunan Yahudi bernama George Sorosh yang menentang invasi Israel ke palestina. Bahkan Sorosh juga mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan, ia akan mengeluarkan uang jutaan dollar untuk menjegal George W. Bush agar tidak menjadi presiden Amerika Serikat lagi. Dia mengatakan bahwa pemerintahan Bush sangat berbahaya bagi terciptanya perdamaian antara Israel & Palestina, khususnya dan di timur tengah pada umumnya. Suatu fakta yang cukup menarik buat saya, sebab Sorosh adalah seorang Yahudi yang seharusnya membela bangsa Israel dan Amerika yang membantu bangsanya, namun sungguh suatu tindakan yang kontroversial dia menentang Amerika serikat yang notabene membantu rakyat Yahudi di Israel dalam misi menguasai Palestina padahal Israel merupakan tanah tumpah darahnya sendiri. Terlepas dari apa motivasi sebenarnya dari Sorosh dalam hal ini yang saya soroti adalah sisi keberaniannya menyatakan pendapat yang berbeda dari opini publik. Di sisi lain saya jadi teringat dengan Film “Schindler List” yang menceritakan sejarah nyata (true story) tentang seorang berkebangsaan Jerman dan juga tokoh partai Nazi bernama Oscar Schindler yang menyelamatkan ribuan orang Yahudi sehingga tidak dibantai oleh kekejaman Nazi Hitler di kamp-kamp konsentrasi pada tahun 1939-1945 dimana pada waktu itu Hitler mempropagandakan suatu genosida (pembantaian etnis) terhadap orang-orang Yahudi di Jerman. Schindler pada waktu itu benar-benar menonjol karena dia adalah tokoh terhormat di partai Nazi dan juga seorang pengusaha kaya namun dia membela rakyat Yahudi yang notabene sangat dibenci oleh orang-orang dari partai Nazi itu sendiri.

Kedua orang ini George Sorosh dan Oscar Schindler merupakan tokoh yang menurut saya dalam kadar tertentu telah sukses menerapkan obyektifitas. Mereka berdua berani melihat suatu kasus dengan fair tanpa melibatkan subyektifitas. Hal yang sama juga saya amati berkenaan dengan agama, Ada beberapa reforman Kristen jaman dahulu yang berani melawan “arus” dengan mengkritisi ajaran para pemimpin Gereja Kristen walaupun mereka adalah orang Kristen misalnya Arius, John Huss, John Wycliff, William Tyndale dan Martin Luther, dll. Orang-orang tersebut adalah para tokoh cendikiawan Kristen namun berani menentang kesalahan para pemimpin agama Kristen. Namun di sisi lain kita dapat melihat fakta bahwa sepanjang sejarah ada banyak juga orang yang telah membabi-buta membela institusi agamanya tanpa mau sedikitpun dikritik oleh pihak lain walaupun kritikan tertentu beralasan dan bersifat membangun. Ini yang disebut dengan fanatisme buta, orang seperti ini tidak akan mau menerima kritikan apapun dari pihak lain sebab orang fanatik menganggap bahwa hanya kelompok dia sajalah yang benar sedangkan kelompok lainnya sesat dan selain itu pikirannya sudah ditutup rapat-rapat dari konsep luar apapun yang bertentangan dengan konsep kelompoknya. Ini yang disebut oleh pepatah “katak dalam tempurung” sebutan untuk orang yang tidak pernah mau membuka diri secara comprehensive terhadap hal-hal diluar konsep yang telah dia miliki. Sebenarnya konsep membuka diri tidaklah berarti menerima begitu saja konsep diluar kita, mempelajari hal tertentu bukan berarti setuju dengan hal tersebut, sebagai contoh misalnya kita belajar tentang sejarah agama-agama animisme penyembah berhala kan itu tidak berarti bahwa kita menerima dan mengikuti agama animisme tersebut, tetapi tujuannya adalah agar kita tahu fakta sejarah tentang agama-agama animisme. Demikian juga dengan fakta sejarah tentang kelemahan tertentu dari para tokoh agama yang adalah manusia biasa yang tidak sempurna, hal itu tidak akan melemahkan kedudukan Tuhan sang maha kuasa. Alkitab Injil bahkan mencatat sejarah kelemahan dari seorang Rasul yang terkenal dikalangan umat Kristen yaitu Rasul Petrus yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali ketika Yesus ditawan dan hendak dibunuh. - Markus 14:66-72. Selain itu Alkitab juga mencatat sejarah tentang kegagalan raja Daud yang diurapi Tuhan yang belakangan berbuat zinah dengan istri orang dan bertindak kejam - 2 Samuel 11:2-27. Demikian juga ketika nabi Musa berbuat salah tidak memuliakan Allah di hadapan orang Israel melainkan mengatakan bahwa Musa yang mengeluarkan air dari bukit Meriba bukan Tuhan. Bilangan 20:1-12. Dan bagaimana raja Salomo atau Sulaiman memiliki istri banyak ada 700 istri dan 300 gundik dan belakangan meninggalkan Allah dan menyembah berhala - 1Raja-Raja 11:1-10. Jadi sebenarnya kesimpulannya apapun kegagalan yang pernah dilakukan hamba-hamba Tuhan para Nabi dan para Rasul, itu sama sekali tidak akan mempengaruhi atau mengurangi kredibilitas kemahakuasaan dari Tuhan sang pencipta yang maha kuasa, tidakkah demikan menurut anda. Jadi janganlah kita “men-Tuhankan” Nabi atau Rasul yang notabene adalah manusia biasa, melainkan “Tuhankanlah” sang pencipta yang maha kuasa, Allah yang bertahta di Surga. Oleh karena itu berpikiran obyektif lebih bijaksana dan masuk akal ketimbang subyektif, sebab hali ini akan membuat kita lebih bisa mengendalikan diri dengan smart dan lebih dewasa dalam menanggapi segala hal yang tidak ideal di dunia ini. Selamat merenung sambil membaca artikel ini secara obyektif juga.

1 comment:

Anonymous said...

belajar banyak